Pendidikan Anak Nelayan Memutus Kemiskinan
Penulis : Josephus Primus | Jumat, 25 Januari 2013 | 18:06 WIB
Assalamualaikum disini ada info tentang pengembangan SDM Kelautan dan Periknan Kementrian yang dan info ini saya dapat dari KOMPAS. Josephus Primus
Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan
Perikanan Kementerian Keluatan dan Perikanan (BPSDM-KKP) Sjarief Widjaja
KOMPAS.com - Di tengah hamparan laut luas
Nusantara, nelayan Indonesia ternyata hidup merana. Bahkan,
kemiskinan, kekurangan, kebodohan, dan keterbelakangan menjadi stigma.
"Iya, memang ada stigma seperti itu," aku Kepala Badan Pengembangan
Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Keluatan dan
Perikanan (BPSDM-KKP) Sjarief Widjaja pada Jumat (25/1/2013) di
kantornya di Jakarta.
Untuk mengikis stigma itu, pendidikan
adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh. Pilihan itu, kemudian,
menjadi salah satu landasan dirinya menulis buku bertajuk Sekolah Nelayan.
Sjarief
lebih lanjut memaparkan, di kawasan-kawasan sentra nelayan macam di
Indramayu dan Tegal, anak-anak nelayan banyak yang putus sekolah.
Mereka kebanyakan mengikuti jejak orang tua, menuju laut mencari ikan.
Masuk
akal kemudian, pendidikan bagi generasi penerus itu terbengkalai. Tak
cuma itu, ditambah dengan kemiskinan, anak-anak nelayan menjadi begitu
berkekurangan. Dalam pengamatan Sjarief, banyak anak nelayan tidak punya
sepatu untuk sekolah. "Bahkan, untuk memotong kuku, anak nelayan perlu
diajari,"ujar Sjarief.
Berangkat dari keprihatinan itulah,
pendidikan menjadi pilihan penting untuk membangkitkan sikap anak-anak
nelayan Indonesia mampu menjadi lebih baik, mampu bersaing. "Pendidikan
anak nelayan memutus kemiskinan,"kata Sjarief yakin.
Data
termutakhir menunjukkan, jumlah nelayan Indonesia ada 2,7 juta jiwa.
Mereka tinggal di 10.624 desa nelayan. Total jumlah desa di Indonesia
mencapai 78.000 buah.
Bertolak dari pendidikan, di dalam buku
setebal 113 halaman itu, Sjarief menggagaskan sekolah lapang sebagai
salah satu pemecahan agar anak nelayan bisa setidaknya mendapatkan
pendidikan dasar seperti membaca dan menulis. Sejak tahun lalu,
pihaknya sudah membuat empat sekolah lapang di perkampungan nelayan
Belawan (Sumatera Utara), Cilacap (Jawa Tengah), Kupang (NTT), dan
Parigi (Sulawesi Tengah). "Kami menyesuaikan jadwal dengan anak-anak
nelayan. Usai melaut, barulah mereka belajar,"katanya sambil
menambahkan kalau minimal 40 persen siswa sekolah memang benar-benar
anak nelayan.
Menurut rencana, pada tahun ini, lanjut Sjarief,
pihaknya akan menambah lagi tujuh sekolah lapang lagi di sentra-sentra
nelayan seperti Sibolga (Sumatera Utara), Tegal (Jawa Tengah), Pontianak
(Kalimantan Barat), Ambon (Maluku), Sorong (Papua), dan Lombok Timur
(Nusa Tenggara Barat). "Sekolah lapang gratis bagi anak-anak
nelayan,"katanya.
Tak cuma itu, daya tampung sekolah lapang juga
akan ditambah lipat dua. Sampai dengan akhir tahun ini, target
kapasitas mencapai 6.000 siswa.
Pada bagian lain, Sjarief
menjelaskan kalau KKP juga meningkatkan kemampuan sekolah-sekolah formal
kelautan dan perikanan dengan muatan lokal sesuai dengan lokasi.
"Kalau di Tegal, muatan lokal akan terkait dengan perikanan tangkap
mulai dari hulu sampai dengan hilir. Di Boyolali, konsentrasinya
budidaya lele,"ujarnya lagi sembari menambahkan kalau pihaknya pun
mengarahkan lulusan pendidikan sekolah usaha perikanan menjadi
wiraswasta bidang perikanan dan kelautan.
Data menunjukkan,
sampai kini KKP memiliki 9 Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM), 3
Akademi Usaha Perikanan, dan 1 Sekolah Tinggi Usaha Perikanan. "Di
Sekolah Tinggi Usaha Perikanan sudah ada Strata 2 Vokasi Perikanan
juga,"kata Sjarief.
Sementara, pihak Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan memiliki 167 Sekolah Menengah Kejuruan Perikanan. Lalu, ada
28 universitas negeri yang memiliki fakultas maupun jurusan perikanan.
"Ke depan, integrasi antara sekolah-sekolah perikanan itu akan semakin
lebih baik," demikian Sjarief Widjadja.
Sekolah lapang sebagai salah satu pemecahan agar anak
nelayan bisa setidaknya mendapatkan pendidikan dasar seperti membaca
dan menulis.
Editor :
Josephus Primus






0 komentar:
Posting Komentar